Labels

2/26/2015

Jejak Langkah Seorang Pelari


VENI kembali membongkar tumpukan kardus di kamarnya. Kardus-kardus yang berisi catatan, salinan slide-slide presentasi dosen, textbook, kertas-kertas, dan semua hal yang dahulu digunakan ketika dia kuliah. Kini, setelah hampir sebulan, ia kembali membongkar itu untuk mengklasifikasikannya. Menyimpan yang sekiranya penting atau membuang yang mampu lekang dalam ingatan supaya rengat dan kecoa tak lagi nyaman bersarang di sudut kamar tak berpenghuni itu.

Terdapat di dalam sebuah kardus mungil, sebuah buku kecil berwarna orange. Buku dimana sebagian part kisah hidup dalam suatu masa tertuang disana, dalam penggalan emosi tanpa alur.. Buku kecil yang telah menemaninya selama dua bulan ketika dirinya berada di Borneo, saat terisolasi dalam kehidupan tanpa glamor dan dusta. Hidup bebas dalam kesendirian, penuh keinsafan, hati jernih, dan tanpa intervensi dari manapun..

Sesaat, ia seolah merasa dihadapkan pada pilihan. Meletakkan buku itu ke dalam tumpukan kardus yang harus dibuang atau malah menyimpannya. Ditengah kebimbangan, ia memutuskan untuk ‘menilai’ isi dari buku tersebut. Meski ingin rasanya menutup saja kilasan sejarah dan sketsa hidup yang telah dibuatnya. Ia kembali membuka lembar-lembar yang telah ia tulis disana. Kenangan akan keputusan besar dalam hidupnya itu pun kembali lagi. Harap tiada tuntutan, tiada yang terluka..

Tertulis tipis dengan tinta biru..
“Ndut, it’s a promise made in the heart.. silent… unbreakable by distance and unchanged by time.. I miss u.. and love u always!”
Tak setipis goresan tinta yang dibuatnya tanggal 13 Februari, malam sebelum perayaan hari kasih sayang, tulisan singkat itu membunuh sanubarinya dengan jelingan tajam bak sembilu. Air mata pun membeku di sudut matanya..

Spontan dia membalik semua part hidup di masa lalunya. Sreg.. sreg.. halaman lain pun terbuka. Tak kuasa meninggalkan kenangan yang ingin dilupakan. Sungguh ironis, sebulan berselang dari tulisan itu, tertera disebuah halaman penuh sayatan kesadaran tanpa asa.
“Aku berusaha mengingat semua kenangan indah yang kami lewati bersama.. aku masih merasakan arti dia dihidupku.. aku terkenang ketika awal kami bertemu.. aku terkenang bagaimana setelah sekian lama kami bisa menembus awan gelap bersama. Aku berusaha keras mengingat ketika aku pertama kali jatuh hati kepadanya, tapi ternyata itu semua tak berbekas untukku karena dahulu aku memang tidak merasakan love at the first sight tapi aku jatuh hati karena terbiasa bersamanya, terbiasa menggantungkan diriku pada lelaki kuat dan hebat. Mengapa ini semua hilang, rasa ini mati seperti dahulu memang tak pernah ada nafas dan jiwa didalamnya.. Kenyataan ini bukan membuatku semakin mengasihinya tetapi malah justru membuatku ingin lari dari situasi ini hanya karena aku tak bisa menerima pilihan sikapnya..”.

Penggalan kisah lain yang tertera pada halaman berikutnya:
“Ya iyalah mbak, saya melihat sesuatu yang aneh disini.. Maaf lho kalau saya bilang blak-blakan. Tapi mbak ini ngga sungguh-sungguh cinta sama pacarnya deh klo gitu..”. Itulah kutipan sebuah kalimat yang dilontarkan oleh seorang bapak pakar cinta ketika berusaha mendiagnosis kisah cintanya.
“Kalau cinta ya mbak itu pasti inginnya selalu dekat bukan malah jauh-jauhan gitu, harusnya kalian itu memikirkan tentang pernikahan khan sudah pacaran sekian lama, dan bla bla bla..”, Ia lantas kembali mengingat semua kejadian ketika dia berbincang dengan bapak itu.
“Apa kabar ya Pak Nimin skg?”, ungkapnya dalam hati, sesaat sebelum menghela nafas panjang sambil tersenyum kecil menertawakan kenangan itu. Air mata beku itu menetes, mengharu biru suasana hatinya.

RENDRA. Pesawat landing dengan sempurna di Bandara Internasional Soekarno-Hatta saat mentari baru saja menampakkan senyum terbaiknya pagi itu. Keteguhan hati, pengorbanan, cinta dan kasih sayang selalu Rendra berikan untuk wanita yang dia kasihi. Pagi itu ia memutuskan untuk datang ke kota dimana wanita yang sangat ia kasihi berada. Wanita yang telah beberapa minggu belakangan membuatnya tidak bisa tidur nyenyak, tidak memiliki nafsu makan, membuat hari-harinya tanpa semangat dan hidup seakan tanpa ujung.. tanpa tujuan. Sejam kemudian sampailah dia di rumah dimana sang pujaan hati berada. Sekian waktu menanti, tidak ada seorang pun yang mempersilakannya masuk. Entah karena semua penghuni rumah sudah beraktivitas dari pagi atau malah karena belum pada bangun.
”Tapi.. Ini khan weekend?” umpatnya dalam hati.
Berharap kedatangannya tak sia-sia, ia terus menanti. Diraihnya koran pagi yang masih tergeletak di teras rumah itu, yang hanya berjarak beberapa centi dari tempat dia duduk. Pandangannya berhenti pada headline koran itu, sebab pikiran kosong menyelimuti lamunan yang semakin liar disaat ia tengah mencoba bersahabat dengan kegiatan menunggu. Ya, menunggu, menunggu, dan menunggu untuk waktu yang tidak ditentukan. Seperti yang telah ia lakukan terhadap wanita ini. Ia telah rela menunggu hingga 5 tahun.. Bahkan dia pun rela ditinggal dan menjalani long distance relationship selama 2 tahun belakangan. Persimpangan penantian yang berbuah kesia-siaan.
 

Jika diingat kembali saat itu, saat ia mengijinkan orang yang dikasihi menggapai impian, semakin berkembang tanpa kekangan, tak ada lain yang ia rasakan selain keyakinan. Keyakinan bahwa tindakan itu yang terbaik bagi kekasih hatinya, harap segalanya tetap bertahan baik bagi hubungan mereka, sebab kepercayaan telah diletakkan dan masa depan dipertaruhkan. Keyakinan yang ternyata hanya tersemat dalam ketakutan terbesar dalam hidupnya.. bahwa ia akan ditinggalkan selamanya oleh kekasihnya, orang yang telah memberinya mimpi dan membuatnya terbang berjuang menggapai kebahagiaannya. Ia pun menarik nafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan.
“Ketakutanku benar-benar akan terjadi.. ah, semoga ini hanya emosinya sesaat seperti yang lalu-lalu. Bukan akhir yang sesungguhnya”, ucapnya dalam hati mencoba menenangkan perasaannya saat itu.
“Loh, mas sudah dari tadi disini?” Suara yang telah lama akrab ditelinganya itu menyentak lamunan panjangnya.
“Lumayan” jawabnya singkat.
 

Selang beberapa waktu kemudian, mereka memutuskan untuk segera beranjak pergi. Menghabiskan waktu bersama, berbagi kisah, dan mencapai kepastian sikap. Setidaknya itulah harapan Rendra ketika datang mengunjungi Veni, wanita yang sangat ia kasihi.
“Aku rela menunggumu sampai kapanpun. Aku juga rela jika kamu ingin ‘mencoba’ berhubungan dengan orang lain sebelum menjatuhkan pilihan terakhirmu. Aku siap menerimamu kembali, kamu dengan kondisi yang memungkinkan, tapi tolong beri aku kesempatan lagi. Membuang seluruh hidupku begitu saja hanya untuk menunggu kesempatan yang belum tentu akan kudapatkan lagi? Aku sudah tidak tahu lagi apa yang harus dipertahankan saat aku merasa semakin menjauh dari dirimu. Ini aku Ven, aku tidak tahu mengapa kamu memperlakukan aku seperti ini?”, ungkap Rendra dipenghujung titik nadir kesabarannya.
Dengan raut duka, Veni pun menjawab: “Maafkan aku mas, ini sudah menjadi pilihanku. Mas, aku tahu aku salah. Ini lebih jadi masalahku dan bukan masalahmu. Aku menginginkan yang terbaik buatmu juga. Memberimu kesempatan lain, sosok yang aku harap bisa jauh lebih baik dari aku..”, sambil memalingkan wajahnya pada steamboat yang telah terlular dingin hatinya, ia berusaha memberi pengertian.
Kata mendadak tajam bak pisau dan rasa telah menjadi pembelot, penghianat, dan pendusta terhadap komitmen. Porak poranda mimpi yang telah dibangun, jembatan yang coba dibangun diantara mereka rubuh karena tak kuat menopang derasnya arus.

Dihari yang sama, menjelang senja Rendra memutuskan untuk kembali ke kotanya. Kota dimana mereka berdua telah dipertemukan untuk pertama kalinya dan merajut cinta bersama. Tempat dimana kenangan kebersamaan mereka abadi ditiap ruas bangunan dan jalanan di kota itu. Kota yang sama ketika dia telah membantu Veni ‘lari’ dari seseorang dihidupnya saat itu, perlahan menghilang karena merasa tidak nyaman dengan perasaan dan situasi saat itu. Sejak saat itulah, Rendra berjanji dalam hati untuk melindungi wanita itu dan ia telah mempertaruhkan hidupnya dengan berbagai resiko menghadang.
Sore itu Veni menghantarnya hingga terminal, dimana bus yang akan membawanya ke bandara standby. Lalu mereka berdua menutup pertemuan hari itu dengan memilih diam. Meraih jemari masing-masing kemudian menggenggamnya. Kembali menikmati hening.

Lampu kamar mati. Kebiasaan yang sebelumnya tidak pernah dilakukan Veni. Tapi sudah beberapa malam ini dia sengaja mematikan lampu, karena tak ingin seorang pun melihatnya terisak. Terisak bukan karena kesedihan yang dialami karena sudah tidak bisa bersama orang yang mengasihinya. Tapi terisak karena dia harus menyakiti hati orang yang sangat mengasihinya.
“Aku menyayanginya tapi aku tidak bisa menemukan kehangatan itu, bahkan aku pun tidak bisa mengatakan kata Yes, I do. Jika cinta itu masih ada, kenapa rasanya hati ini begitu dingin. Kenapa aku tidak merasa bahwa dunia masih tersenyum untukku. Rasanya awan hitam selalu mengikuti kemana kami berada. Kenapa aku selalu melihat segala hal yang tidak aku suka darinya, sikapnya, karakternya? Kenapa aku selalu mengeluhkan tentang dia? Kenapa A? Kenapa B? Kenapa C? Kenapa?? Kenapa sulit sekali bagiku untuk merasakan dan menerima semua kasih sayangnya begitu saja dan membalasnya? Sementara ia, laki-laki baik yang dapat menerimaku apa adanya dan tidak pernah menuntut apapun dariku.”, pikiran Veni dipenuhi banyak pernyataan dan pertanyaan pembenaran.
“Ternyata cinta bukanlah persoalan bagaimana kita memberi, bagaimana kita berkorban, dan bagaimana kita menerima. Aku belajar bahwa cinta adalah bagaimana penerimaan diri kita terhadap pasangan.”, lirih hati Veni. Air matanya kembali menetes.

“Kenapa bukan dia orangnya? Rendra seseorang yang selalu bersamaku, selalu ada disaat aku membutuhkannya, menguatkan disaat-saat rapuh dalam hidupku. Bahkan dia selalu bisa menerimaku apa adanya, tanpa pernah mengeluhkan perlakuanku yang sering menyebalkan dan menyakiti hatinya. Apakah karena rentang usiaku yang sangat jauh dengannya? Aku belum genap berusia seperempat abad sehingga dia jauh lebih dewasa dariku? Aku selalu dilanda ketakutan-ketakutan dan penilaian yang tidak aku suka akan dirinya. Berulang kali stuck terhadap situasi yang membuat hidup menjadi tidak bersemangat. Seolah mentari sudah berhenti bersinar untukku. Pada akhirnya aku memutuskan untuk mendapatkan hidup yang baru. Aku hendak berlari lagi untuk kesekian kalinya, mungkin lari dari kenyataan, kenyataan bahwa aku jenuh terhadap hubungan ini. Entahlah, apapun itu, ini sudah terjadi. Aku sudah meletakkan pilihanku. Terlalu sering aku menyakiti hatinya selama kami berhubungan. Semoga ini menjadi yang terakhir, terakhir kali aku menyakiti hatinya. Bagaimana kondisi didepan, aku tidak akan pernah menyesal, karena inilah keputusan, inilah hidup, aku telah meletakkan jangkarku.”
Itulah penggalan rangkaian-rangkaian kata dalam hati Veni. Kata yang telah membentuk kalimat. Kalimat yang dihasilkan dari pikirannya, yang pada akhirnya semakin penuh sesak mengganjal hatinya. Pikiran Veni terus melayang, melayang dan membawanya ke alam mimpi yang dalam.

LINUS. Menikmati kesendiriannya sore itu dengan secangkir teh manis hangat. Teh dengan racikan khusus yang memiliki cita rasa sangat khas, dibuat dengan penuh cinta oleh sang pemilik angkringan yang berjarak beberapa meter dari rumahnya. Dadanya mendadak sesak, dia begitu merindukan wanita itu, yang tiba-tiba kembali datang dihidupnya setelah penantian panjangnya. Ingin sekali dia mendekap wanita itu dan berjanji dalam hati untuk tidak melepaskannya lagi. Tapi pikirannya masih bercampur memori duka yang tak bisa lekang, bagaimana wanita itu di suatu masa secara perlahan pernah ‘lari’ dan menghilang dari hidupnya.
Kembali menerawang, mengingat ketika wanita itu duduk dan bercengkrama bersamanya hingga larut ditempat itu. Kala itu bulan memantulkan sinar redup, terpaan angin malam terasa lembut, dan berlatarkan suasana kampung di tengah kota yang nyaman, mereka berdua tampak menikmati kebersamaan saat itu. Mereka duduk di jembatan itu. Yah, jembatan inspirasi mereka menyebutnya. Inspirasi untuk menciptakan karya bagi mereka yang bergelut dalam dunia estetika.

“Setelah sekian lama, aku sungguh tidak menyangka akan melihatmu disini. Jika saja aku dahulu tidak menghilang darimu. Tetapi mungkin memang ada alasan kenapa kita kembali dipertemukan sekarang.”, lirih suara Veni pada saat itu, seolah hanya berkata untuk dirinya sendiri.
“Jika saja dahulu aku berani untuk mengatakan perasaanku, belum tentu kamu akan merasakan apa yang kamu rasakan untukku sekarang. Bahkan kamu yang dulu pun belum tentu sama seperti yang sekarang. Kita berdua sama-sama berbeda di waktu dulu dan sekarang.”, ujar Linus mengenang perbincangan mereka kala itu.
“Lantas, untuk apa kita dipertemukan saat ini? Seperti suatu awalan tanpa akhir yang tak tahu akan menuju kemana.” lanjut Veni menimpali.
“Andai aku bisa tahu jawabannya, Ven. Aku hanya tahu bahwa apa yang sekarang kita alami akan membentuk diri kita masing-masing di depan nanti. Demikian juga kamu. Kita pasti akan menuju itu, meski entah menuju kemana.” Linus menjawab pertanyaan Veni.
Sedikit mengalihkan alur pembicaraan, saat itu Veni tiba-tiba berkata:
“Eh, lagian kalau saat itu kamu mengatakan perasaanmu, pasti aku akan menolak kamu karena saat itu aku sama sekali tidak memiliki rasa apa-apa sama kamu. Tapi Linus, kamu belum tahu aku sekarang sebenarnya seperti apa?”.
Sambil menatap dalam mata Veni, saat itu Linus pun berkata:
“Ven, aku siap menerima kamu lengkap dengan paket ini. Aku tidak berjanji, tapi aku akan berusaha semampuku, kamu telah membuat aku kembali memiliki harapan dan untuk itu aku akan terus berjuang untuk kita. Tapi aku harus tahu, bahwa kamu memang masih ada disana. Aku tahu bahwa yang kamu hadapi saat ini sangat berat tapi kamu harus kuat karena memang ini yang kamu inginkan dihidupmu bukan?”.
Veni hanya mampu mengangguk perlahan.

Kala itu hati Linus terus bertanya-tanya. Bagaimana bisa dia merasa nyaman dengan wanita ini. Bagaimana bisa dia mendengarkan semua lelah dan keresahan yang selalu dialami Veni.
“Meski pernah dekat 6 tahun yang lalu, tapi dia baru tahu aku dan keluargaku secara sungguh-sungguh beberapa minggu ini. Dia terlihat sangat nyaman disini. Dia bisa menerima kondisiku saat ini. Bahkan orang tuaku sangat menyayanginya. Cukupkah itu untuk menyimpulkan sesuatu?” hati Linus bertanya-tanya.
Dalam kesendiriannya sore itu, dia kembali membayangkan dirinya dalam kondisi selalu bahagia seperti saat itu, ketika dia mendapati wanita pujaan hatinya hadir mengambil bagian dari hidupnya. Wanita yang tiba-tiba memberi amunisi untuk kembali berperang dan selalu terjaga meski dirinya tak pernah terlelap. 

Kenyataannya saat ini, hatinya gelisah, gundah gulana berkecamuk dalam hatinya. Ketika dia mencoba fokus dalam hidup, seolah terpaan badai mengombang-ambingkan kapal yang dinaikinya hingga berbalik arah.
“Tapi kenapa Veni seperti ini, dia berubah begitu cepat. Mengapa dia seperti itu? Aku sudah naik kapal yang sama dengannya, akankah dia menabrakkan kapal ini ke batu karang? Atau membawa kami menuju pelabuhan terakhir? Sepertinya saat ini dia sedang berusaha untuk menenggelamkan kami. Mengapa sulit sekali baginya untuk berada dalam suatu proses. Inikah proses yang akan dia skip lagi? Akankah dia ‘lari’ lagi dari hidupku setelah beberapa waktu lalu dia juga ‘lari’ dari seseorang yang sangat mengasihinya? Akankah kehadirannya hanya fatamorgana.”. Berbagai pertanyaan ritoris bertubi-tubi memenuhi benak Linus sore itu.
“Kenapa aku dipenuhi ketakutan? Aku akan menjadi nahkoda kapal yang baik, aku akan menunjukkan arah yang tepat bagi kami sehingga kami tidak karam dan bisa sampai ke pelabuhan. Jika ternyata tujuan terakhirnya bukan pelabuhan yang sama, maka aku akan membiarkan dia menahkodai kapal besar ini dan aku akan menggunakan lifeboat tanpanya mencapai tujuanku. Jika begitu kenyataannya, maka memang begitulah yang seharusnya terjadi.”, kembali lagi Linus mencoba menenangkan hatinya saat itu. Tak kuasa matanya mulai berkaca-kaca dan teh yang diminumnya berubah menjadi tawar dan dingin.

Veni mengusap matanya. Tak terasa air mata perlahan mengalir dari kedua matanya. Emosi yang tertahan selama beberapa waktu karena banyaknya kejadian yang telah dialami meledak. Linus telah hadir dalam hidupnya ketika ia telah memutuskan untuk mengambil arah yang berbeda dengan Rendra. Dan dia sadar betul, bahwa ia merasa begitu nyaman bersama lelaki yang kehadirannya sempat dia pungkiri beberapa tahun yang lalu. Jantungnya berdetak keras. Buku orange itu digengam semakin keras dan ia pun memutuskan untuk menyimpannya. Menyimpan pembelajaran berharga, meski tanpa adanya buku itu ia akan tetap mampu memiliki kenangan itu.

Satu kalimat dari Rendra yang selalu terkenang dalam ingatannya,
“Jagalah hati.”, entah itu untuk dirinya sendiri atau orang lain. Tapi pada akhirnya Veni sadar, bahwa ada kalanya dia berhenti berlari. Lari menghindari masalah, lari dari orang yang tak sempurna di matanya. Berhenti pada penerimaan jiwa dan menyandarkan diri pada satu hati.
Pesan singkat dari Linus yang dikirimkan melalui ponsel menyentak lamunannya di sudut ruang itu. Ia segera tersadar dari situasi yang justru saat itu memerlukan tanggapan. Setelah menikmati hening, mencoba mencari satu jawaban atas tiap pertanyaan yang terlontar dari hati. Ketidakpastian.. 
Dengan pikiran letih ia pun membaca pesan itu.
- Jika rasa itu sudah tidak ada lagi, pesanku “Jangan pernah menaruh hati di sembarang tempat”. Aku siap kamu tinggalkan kalau itu bisa membuatmu keluar dari situasi ini. Terima kasih untuk spirit yang akan terus ada untuk selamanya. Semoga! Tuhan memberkatimu  -


No comments:

Post a Comment